Beasiswakampus.com | Dalam banyak organisasi, pimpinan sering meminta para karyawan untuk menjadi individu yang multitasking. Permintaan ini biasanya lahir dari kondisi organisasi yang sangat dinamis, terutama akibat perkembangan teknologi, transformasi proses kerja, dan kebutuhan pengetahuan yang semakin beragam. Secara logis, hal ini memang masuk akal: ketika seorang karyawan mampu menguasai banyak keterampilan dan terus bersedia belajar hal baru, organisasi akan sangat diuntungkan.
Dengan kemampuan multitasking yang tinggi, perusahaan tidak perlu selalu mencari sumber daya manusia tambahan dengan spesialisasi yang berbeda-beda. Sebab, satu karyawan yang mampu menguasai beberapa bidang dapat mengisi berbagai kebutuhan pekerjaan sekaligus. Dalam perspektif efisiensi, hal ini tentu tampak ideal—organisasi dapat menghemat waktu, anggaran, dan energi untuk rekrutmen serta pelatihan.
Namun, di balik keuntungan tersebut, ada aspek penting yang sering terlewat: multitasking bukan sekadar kemampuan untuk mengerjakan banyak hal, tetapi beban kognitif yang sebenarnya tidak selalu sehat bagi individu. Otak manusia tidak dirancang untuk berpindah fokus secara cepat dan berulang. Ketika tuntutan multitasking terlalu tinggi, risiko kelelahan mental, penurunan kualitas kerja, stres kronis, dan burnout semakin besar. Akhirnya, efektivitas yang diharapkan justru berubah menjadi kontraproduktif.
Karena itu, organisasi perlu memahami bahwa multitasking bukan satu-satunya solusi untuk menghadapi dinamika perubahan. Yang jauh lebih berkelanjutan adalah membangun budaya kerja yang mendorong:
- Pembagian peran yang jelas, sehingga karyawan tidak memikul beban kerja di luar kapasitas wajar.
- Pengembangan kompetensi secara bertahap, bukan sekadar menambah tugas tanpa arah.
- Penerapan prioritas kerja yang menjaga fokus dan kualitas hasil.
- Pemanfaatan teknologi pendukung, agar rutinitas administratif tidak membebani sumber daya manusia.
- Keseimbangan kerja yang sehat, sehingga karyawan tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan mental.
Dengan pendekatan seperti ini, organisasi tetap dapat bergerak adaptif dan efisien, tanpa menjadikan multitasking sebagai tuntutan yang membahayakan kesehatan karyawan. Pada akhirnya, perusahaan yang maju adalah perusahaan yang tidak hanya pintar mengelola pekerjaan, tetapi juga bijak merawat manusia yang mengerjakannya.
Sisi lain yang sering tidak disadari oleh pimpinan organisasi adalah bahwa tidak semua karyawan nyaman atau mampu memenuhi tuntutan multitasking. Setiap individu memiliki karakter, kemampuan belajar, dan kecepatan memahami instruksi yang berbeda. Banyak karyawan sebenarnya ingin menolak tuntutan tersebut, namun mereka tidak berani menyampaikannya secara langsung. Akhirnya, yang terucap hanya, “Siap, baik Pak. Kami akan terus belajar.”
Bagi sebagian pimpinan, respons seperti ini dianggap sebagai tanda positif—karyawan dinilai mau berkembang, mau belajar hal baru, dan siap beradaptasi. Tidak jarang, hampir 100% pimpinan merasa puas ketika melihat bawahannya menunjukkan sikap demikian. Namun di balik itu, ada realitas lain yang sering luput dari perhatian.
Pertama, tuntutan multitasking sering kali tidak diimbangi dengan sistem penilaian yang adil. Kinerja multitasking dinilai dengan angka, tetapi jarang disertai kompensasi seperti insentif tambahan atau peningkatan gaji. Padahal, pekerjaan yang semakin kompleks membutuhkan energi, fokus, dan waktu yang jauh lebih besar.
Kedua, beban belajar yang besar tidak selalu selaras dengan kemampuan setiap karyawan. Mereka yang lambat memahami instruksi sering kali merasa tertekan, bahkan merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi ekspektasi pimpinan. Pembelajaran pun membutuhkan waktu dan biaya—dan tidak semuanya bisa diperoleh secara gratis. Akibatnya, proses belajar yang seharusnya menjadi peluang berkembang justru berubah menjadi beban psikologis dan finansial.
Yang lebih ironis, ketika seorang karyawan menunjukkan kesulitan atau ketidaknyamanan dalam mengikuti tuntutan multitasking, ia kerap mendapat label negatif: “berada di zona nyaman,” “tidak mau belajar,” atau “kurang progresif.” Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Tidak semua yang lambat belajar berarti tidak mau belajar; mereka mungkin hanya membutuhkan pendekatan yang berbeda, waktu yang lebih panjang, atau dukungan yang lebih memadai.
Di sinilah pentingnya pimpinan memahami bahwa pengembangan karyawan bukan sekadar menambah tugas dan keterampilan, tetapi:
- menyesuaikan tuntutan kerja dengan kapasitas individu,
- memberikan pelatihan yang terstruktur dan dapat diakses,
- mengapresiasi usaha belajar, bukan hanya hasil,
- serta menghadirkan kompensasi yang selaras dengan beban kerja yang meningkat.
Organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan manusianya. Multitasking memang dapat meningkatkan efisiensi, tetapi jika diterapkan secara sembarangan, justru dapat merusak motivasi, kesehatan mental, dan performa jangka panjang karyawan.
Karena itu, bagi para karyawan, penting untuk tidak serta-merta merasa bangga ketika disebut sebagai karyawan yang multitasking. Memang benar, memiliki banyak ilmu dan pengetahuan tambahan adalah sebuah nilai lebih, tetapi akan menjadi tidak adil ketika kemampuan tersebut tidak diikuti dengan imbalan yang layak, peningkatan kesejahteraan, atau penghargaan yang sesuai. Kebanggaan tidak seharusnya menutupi kenyataan bahwa beban kerja yang meningkat memerlukan kompensasi yang sepadan.
Di sisi lain, perusahaan atau pimpinan harus mempertimbangkan dampak multitasking terhadap kesehatan mental dan kapasitas kerja karyawan. Tuntutan untuk mengerjakan banyak hal sekaligus sering kali muncul karena organisasi enggan menambah karyawan baru, dengan alasan bahwa sudah ada individu yang “bisa semuanya”. Namun kebijakan seperti ini berpotensi menciptakan tekanan berlebihan, kelelahan kronis, dan penurunan kualitas kerja secara jangka panjang.
Perusahaan perlu memahami bahwa:
- Efisiensi bukan berarti memaksimalkan satu karyawan untuk mengerjakan tugas banyak orang.
- Produktivitas sejati bergantung pada keseimbangan beban kerja dan kesejahteraan individu.
- Multitasking yang dipaksakan justru dapat menghambat inovasi dan menurunkan motivasi.
Karyawan yang terus dipaksa untuk menguasai banyak hal tanpa dukungan memadai lambat laun akan merasakan ketidakadilan dan kelelahan mental. Sebaliknya, organisasi yang menghargai batas manusiawi dan menyelaraskan tuntutan kerja dengan kompensasi yang wajar akan memiliki SDM yang lebih loyal, sehat, dan produktif.
Pada akhirnya, hubungan antara karyawan dan organisasi harus dibangun atas dasar saling menghargai, bukan sekadar tuntutan sepihak.
Karyawan berhak mendapatkan penghargaan atas setiap tambahan tugas dan keterampilan yang mereka kuasai, sementara perusahaan berkewajiban memastikan bahwa efisiensi operasional tidak mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan SDM-nya.
Kesimpulan:
Multitasking memang dapat meningkatkan efisiensi, tetapi penerapannya tanpa batas justru berisiko merusak kesehatan mental, menurunkan kualitas kerja, dan menimbulkan ketidakadilan bagi karyawan. Organisasi perlu menyeimbangkan tuntutan dengan dukungan dan kompensasi yang layak agar produktivitas tetap sehat, manusiawi, dan berkelanjutan.
