BEASISWA KAMPUS | Bogor – Kelompok 29 BSI Explore yang dipimpin oleh Khaila Anjani bersama rekan setimnya, yaitu Zulhijjah Ratnauly, Meutya Febi Santoso, dan Dewi Misna Hasibuan, melakukan survei ke MI & MTs Al-Fitriyah di Jl. Raya No. 605, Desa Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
BSI Explore merupakan program pengabdian kepada desa maupun sekolah-sekolah yang membutuhkan dukungan, dan MI & MTs Al-Fitriyah menjadi salah satu sekolah yang sangat membutuhkan perhatian.
Sebelumnya, kelompok tersebut sudah berencana untuk mengunjungi SDN Cimanggis. Namun, setelah berbincang dengan seorang pengemudi Grab bernama Hafidz, mereka memutuskan untuk mengalihkan tujuan ke MI & MTs Al-Fitriyah karena kondisi sekolahnya yang lebih memprihatinkan dibandingkan sekolah lain di daerah tersebut. Keputusan ini diambil setelah mereka melihat perbandingan fasilitas sekolah lain yang jauh lebih baik.
“Awalnya kami sudah ada planning ke sekolah dulu baru desa, kita milih lihat SDN 02/03 Cimanggis dulu. Nah, naik grab tuh dengan rute ke SDN Cimanggis ini. Setelah naik, kita nanya-nanya ke abang supir grab nya. Dikasih tahulah kita, ada sekolah MI yang sudah memprihatinkan banget, dari fasilitas hingga jumlah guru dan murid. Nah, jadi kita ganti rute, ke SD yang dikasih tahu supir grab tersebut. Selama perjalanan, kita juga lihat SD negeri disana bagus-bagus, SD 02/03 Cimanggis juga bagus, dari bangunan sama jumlah siswanya yang lumayan banyak lah dilihat sekilas. Beda banget sama yang kita lihat di MI & MTs Al-Fitriyah ini,” ungkap Khaila setelah melihat sekolah tersebut saat survey Kamis (12/9) silam.
Setibanya di sekolah, Kelompok 29 disambut dengan antusias oleh siswa-siswi maupun guru-guru yang ada di sana. Mereka melakukan wawancara dengan beberapa guru, seperti Bu Mursiddah untuk MTs dan Pak Khoerudin selaku guru MI.
Kondisi fasilitas dan infrastruktur Sekolah
MI & MTs Al-Fitriyah menghadapi tantangan besar dalam hal fasilitas dan infrastruktur. Bangunan sekolah terlihat sangat memprihatinkan. Banyak jendela dan atap yang rusak serta bolong. Di MTs hanya memiliki empat ruangan, yaitu tiga kelas dan satu ruang guru. Jumlah siswa di setiap kelas juga sangat sedikit, kelas 7 memiliki 7 siswa, kelas 8 sebanyak 12 siswa, dan kelas 9 hanya 9 siswa.
Sedangkan MI, meskipun ada beberapa ruangan kosong, kondisinya juga terbengkalai karena jumlah siswanya yang sangat sedikit. Total siswa di MI hanya mencapai 40 orang, terbagi dari kelas 1 hingga kelas 6.
Di setiap kelas, tidak ada kipas angin, sehingga siswa dan guru kerap kepanasan. Siswa hanya menggunakan kertas untuk mengipas diri mereka sendiri. Sementara satu-satunya ruangan yang memiliki kipas adalah ruang guru.
Selain itu, fasilitas dasar lainnya juga sangat kurang. MI maupun MTs tidak memiliki perpustakaan ataupun laboratorium, sehingga siswa tidak bisa mendapatkan akses ke buku bacaan maupun melakukan praktikum. Saat ujian berbasis komputer, siswa terpaksa menggunakan ruang guru dan membawa laptop pribadi jika ada. Di Sekolah juga tidak ada kantin, sehingga para siswa baik MI dan MTs hanya membeli jajanan dari pedagang keliling yang datang ke sekolah.
“Dulu kantin ada, tetapi mungkin karena siswa kami sedikit, jadinya yang jualan berhenti karena nggak balik modal,” ujar Khoeruddin saat diwawancarai langsung.
Bahkan, masalah toilet pun MTs harus menumpang ke MI. Itupun hanya satu dan dalam kondisi kurang layak pakai. Toilet sering kali tidak memiliki air dan tidak ada sanitasi yang memadai.
“Kita nggak punya toilet, ada tuh di MI, kita numpang. Itu pun menurut saya nggak layak digunakan ya, karena air sering mati dan tidak ada sabun juga,” ujar Mursiddah.
Mushola di MI dan MTs Al-Fitriyah saat ini tidak bisa digunakan karena kondisinya yang sudah tidak layak. Atap yang bocor, dinding yang retak, serta fasilitas wudhu yang rusak membuat mushola tersebut tidak lagi nyaman dan aman untuk melaksanakan ibadah. Keadaan ini memaksa para siswa/siswi tidak bisa melaksanakan ibadah Dhuha dan Dzuhur di lingkungan sekolah.
Namun, kabar baiknya, bantuan untuk merenovasi mushola tersebut akan segera datang. Dengan adanya renovasi, diharapkan mushola dapat kembali digunakan dengan baik, sehingga para siswa/siswi MI dan MTs Al-Fitriyah bisa melaksanakan ibadah Dhuha dan Dzuhur secara rutin seperti sebelumnya. Renovasi ini menjadi angin segar bagi semua pihak yang merindukan suasana religius di sekolah.
“Iya, memang sudah cukup lama mushola sudah nggak beroperasional lagi sehingga rutinitas siswa yang dulunya shalat dhuha bersama harus terhenti, tapi alhamdulillah ada yang memberikan bantuan. Sehingga mushola kami akan segera diperbaiki,” ujar Mursiddah dengan wajah yang sumringah.
Masalah keamanan dan pencurian
Sekolah ini juga mengalami masalah keamanan. Tidak adanya satpam, membuat fasilitas yang ada seringkali dicuri, mulai dari printer, kipas angin, hingga kabel listrik. Bahkan, pagar sekolah pun pernah dicuri.
“Ini baru saja kejadian minggu lalu (di bulan September 2024), kabel tuh dicuri, lewat jendela guru yang dibobol. Sampingnya itu sawah, makanya bisa lewat situ,” tambah Mursiddah menjelaskan.
Meski demikian, sekolah tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Mereka hanya menerima kenyataan bahwa barang-barang tersebut hilang.
“Udah ya hilang aja. Nggak ada lapor sana sini. Karena ini kan yayasan juga, ya nggak lapor polisi, udah dibiarin aja, mau gimana lagi,” ungkap Mursiddah dengan pasrah.
Menurunnya minat siswa dan dana operasional
Banyaknya fasilitas yang rusak dan hilang berdampak langsung pada minat orang tua untuk menyekolahkan anak mereka di MI & MTs Al-Fitriyah. Dalam lima tahun terakhir, jumlah siswa menurun drastis karena banyak orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di SD Negeri yang fasilitasnya jauh lebih baik dan gratis.
“Awalnya sekolah akan digusur karena susah dapet murid, dikarenakan kebanyakan siswa ingin sekolah gratis. Selama dua tahun belakangan jarang ada siswa yang mendaftar di sekolah ini. Rata-rata orang tua siswa terlebih dahulu melihat bangunan dan infrastruktur sekolah sehingga kami sulit mendapatkan siswa,” jelas Khoerudin.
Akibat dari menurunnya jumlah siswa, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diterima sekolah juga semakin sedikit, yang berarti semakin terbatas pula fasilitas yang bisa disediakan oleh pihak sekolah.
Kualitas pengajaran dan kebutuhan literasi
Kebutuhan literasi di sekolah ini sangat mendesak. Tidak ada perpustakaan yang dapat menyediakan buku-buku fiksi atau non-fiksi. Sehingga kegiatan literasi membaca tidak dapat dilakukan. Begitu pula dalam hal numerasi, dan potensi penerapan program inovasi untuk mendukung pengajaran masih sangat terbatas.
Dalam segi pengajaran, MI & MTs Al-Fitriyah juga menghadapi banyak kendala. MTs hanya memiliki 10 orang guru, sehingga setiap guru harus mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Metode pengajaran di sekolah ini masih sangat tradisional, yaitu menggunakan papan tulis dan tanpa adanya praktik, terutama untuk mata pelajaran IPA yang hanya diajarkan sebatas teori karena tidak adanya laboratorium.
Situasi serupa juga terjadi di MI. Keterbatasan ruang dan jumlah siswa memaksa beberapa kelas harus digabung.
“Minimal murid dalam satu kelas itu 15 orang, jadi dalam satu ruangan kita gabung dua kelas,” jelas Khoerudin. Meskipun demikian, materi pelajaran tetap diberikan sesuai tingkatan kelas.
Selain itu, guru di MI juga sangat terbatas. Saat ini hanya ada 6 tenaga pengajar. Menurut Khoerudin, mencari guru untuk mengajar di sekolah ini sangat sulit, terutama karena gajinya yang kecil. “Apalagi jika mencari guru lelaki itu sangat susah,” tambahnya.
Permintaan bantuan kepada pemerintah sudah sering dilakukan, namun hingga saat ini belum ada tanggapan yang serius.
Keterlibatan komunitas sekolah
Partisipasi orang tua dalam kegiatan sekolah juga sangat minim. Meskipun pihak sekolah sudah membuat grup WhatsApp untuk berkomunikasi dengan orang tua, hanya beberapa orang saja yang aktif. Sebagian besar orang tua kurang terlibat dalam proses belajar anak mereka.
“Yang sering merespons hanya 3-4 orang saja, dan orangnya hanya itu-itu saja,” ungkap Mursiddah.
Namun, hubungan antara sekolah dan masyarakat setempat cukup baik. Warga sering membantu dalam pembangunan fasilitas sekolah, seperti mushola yang sedang dalam proses pembangunan. UKS yang dulu sempat ada, hingga warga setempat yang mau dititipkan beberapa fasilitas sekolah di rumah mereka.
Selain itu, pihak sekolah pun bisa untuk menghubungkan mahasiswa BSI Explore dengan masyarakat desa agar program yang diinisiasi oleh mahasiswa UBSI dapat terintegrasi dengan baik.
Kondisi ekonomi dan sosial siswa
Sebagian besar siswa MI & MTs Al-Fitriyah berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Orang tua siswa umumnya bekerja sebagai buruh, sehingga kesulitan untuk membayar infak sebesar Rp 30.000 per bulan untuk MTs.
Infak seringkali baru dibayar saat pengambilan rapor, yaitu setiap enam bulan sekali. Kondisi ini jelas memengaruhi partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, baik dari segi kelengkapan alat tulis maupun kemampuan siswa dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Orang tua juga masih lambat dalam mengarahkan anaknya untuk giat belajar.
“Saat ada PR, anak-anak memang ada yang mengerjakan ada yang enggak, ini juga perlu peran orang tua. Saya sudah sering banget, ingetin para orang tua, tapi ya memang lambat prosesnya,” jelas Mursiddah.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah tersebut saat ini tidak ada, meskipun sebelumnya pernah ada kegiatan Pramuka. Namun, karena keterbatasan dana untuk membayar pembina Pramuka, kegiatan tersebut terpaksa dihentikan.
Harapan para siswa
Saat diwawancarai, para siswa tampak sangat bersemangat dengan kehadiran mahasiswa UBSI di kelas mereka. Mereka tidak hanya antusias tetapi juga penuh harapan agar kondisi sekolah mereka bisa lebih baik. Beberapa diantaranya menyampaikan impian sederhana, seperti memiliki perpustakaan dan laboratorium yang layak.
“Aku ingin ada perpustakaan biar bisa baca-baca buku, Kak,” ujar Muhammad Ilham, siswa kelas 7 dengan penuh harapan.
Ada juga tantangan yang mereka hadapi setiap hari, seperti kondisi toilet yang sering kali kekurangan air.
“Kalau air mati, kami terpaksa pulang ke rumah untuk buang air, Kak,” tambah Ilham.
Siswa/siswi MI & MTs Al-Fitriyah harus menghadapi keterbatasan fasilitas yang begitu besar. Pun dalam belajar, mata pelajaran yang seharusnya melibatkan praktik, seperti IPA, hanya dilakukan melalui teori.
“Kami cuma bisa mendengar dan mencatat, karena alat praktiknya tidak ada,” keluh salah satu siswa.
Meski demikian, semangat mereka untuk belajar tetap tinggi. Mereka biasanya berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum setiap harinya, tetapi semangat mereka tak pernah surut. Sungguh, mimpi-mimpi mereka begitu besar meski dibalut dengan keterbatasan yang mencengkeram.
Dukungan logistik dan keberlanjutan program
Dengan segala keterbatasan yang ada, MI & MTs Al-Fitriyah masih memiliki harapan untuk bisa bertahan dan berkembang. Kehadiran kelompok mahasiswa UBSI melalui BSI Explore memberikan secercah harapan bagi sekolah ini. Dukungan dari program BSI Explore diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pengajaran, terutama dalam hal literasi dan numerasi.
“Kami berharap dengan adanya kolaborasi antara mahasiswa, sekolah, dan masyarakat, kami bisa membawa perubahan yang berarti bagi masa depan sekolah ini,” harap Khoerudin.
Selain itu, pihak sekolah juga berharap adanya bantuan dari pemerintah dan pihak swasta untuk memberikan dukungan dana dan fasilitas yang layak bagi sekolah ini.[]